Unri: Kita Tak Bisa Nonaktifkan Syafri Harto 

Unri: Kita Tak Bisa Nonaktifkan Syafri Harto 

RIAUMANDIRI.CO - Wakil Rektor II Universitas Riau, Sujianto mengatakan pihaknya tidak bisa semena-mena mengikuti keinginan publik soal penonaktifan Dekan Fisip, Syafri Harto (SH). 

Diketahui, Syafri Harto adalah dekan terduga pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya. Saat ini, statusnya telah jadi tersangka. Ancaman hukumannya 8 tahun, namun hingga kini Syafri Harto belum ditahan. 

"Dalam aturan terbaru dalam, PP No 94 Tahun 2021, PP No 11 Tahun 2017, dan Permenristek Dikti No 81 Tahun 2017, kami tidak bisa semata-mata ketika ada kejadian langusung diberhentikan atau dinonaktifkan. Kita harus mengacu pada aturan itu. Dalam itu, ada prosedurnya bagaimana ASN itu bisa dinonaktifkan," kata Sujianto dalam konferensi pers di Unri, Selasa (23/11/2021). 


"Jadi tidak seperti dulu, rektor tidak bisa langusung-langsung saja. Dalam aturan itu, SH bisa diberhentikan sementara apabila dia ditahan. Bahasanya seperti itu. Setelah dia ditahan, baru rektor bisa mengambil keputusan," tambahnya. 

Selain itu, Sujianto mengaku pihaknya terus berkominikasi dengan korban terkait pemulihan kesehatan mentalnya. Kata Sujianto, kini korban masih trauma mendalam, bahkan belum bisa bertemu laki-laki. 

"Korban saat ini masih shock. Pihak kita masih terus berkomunikasi dengan korban. Dari informasi yang kita terima, saat ini korban masih trauma dengan laki-laki. Makanya pendamping yang kita tugaskan itu perempuan-perempuan semua," katanya. 

Kasus ini ini bermula ketika korban menceritakan kejadian pelecehan yang dialaminya lewat akun Instagram @komahi_ur. Korban mengaku pelecehan terjadi pada Rabu, 27 Oktober 2021 sekitar pukul 12.30 WIB.

Saat itu korban tengah melakukan bimbingan proposal skripsi kepada salah SH. Dalam ruangan bimbingan, hanya ada pelaku dan korban.

Awalnya bimbingan dimulai dengan beberapa pertanyaan personal, namun beberapa kali pelaku mencetuskan kata-kata yang membuat korban merasa tidak nyaman.

Tidak hanya sampai di situ, perbuatan pelecehan pelaku mencapai puncaknya saat korban berpamitan setelah menyelesaikan bimbingan proposalnya.

Dalam kesempatan itu pelaku memegang bahu korban dan mendekatkan tubuhnya lalu memegang kepala korban kemudian mencoba melakukan aksi yang mencorang nama baik Unri itu.

Korban menceritakan, pada saat itu dirinya merasa ketakutan dan terhina.

Korban menolak permintaan pelaku, lalu kemudian mendorongnya.

Setelah peristiwa tersebut, korban melaporkan kejadian itu kepada salah seorang dosen. Korban meminta agar pembimbing proposalnya diganti oleh ketua jurusan dan melaporkan kasus pelecehan tersebut.

Namun sebelum bertemu ketua jurusan, korban mengatakan pelaku meminta bertemu terlebih dahulu.

Bahkan pelaku menyuruh korban berputar balik. Pelaku memaksa korban untuk menemuinya di sebuah kedai kopi.

Dalam pertemuan itu, pelaku mencoba memberikan tekanan kepada korban agar tidak melaporkan kejadian tersebut kepada ketua jurusan.

Pelaku bahkan mengancam korban dengan kalimat, "Jangan sampai karena kasus ini pelaku bercerai dengan istrinya". Korban disuruh pelaku tidak mempermasalahkan kejadian tersebut.

Setelah pertemuan itu, korban kembali bertemu dengan dosennya untuk melaporkan kejadian tersebut ke ketua jurusan. Sayangnya dosen tersebut justru menyalahkan korban, dan mempermasalahkan bahwa bimbingan proposal yang dilakukannya tidak legal karena belum ada SK.